Jakarta - Kasus dugaan pencemaran nama baik yang dilaporkan oleh Ferlianus Gulo, Wasekjen Organisasi Masyarakat Nias (Ormas Onur), terhadap Leo Amaron, Pemimpin Redaksi Jurnalpolisi.id, kembali menyoroti penanganan kasus yang melibatkan kebebasan pers di Indonesia. Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), Wilson Lalengke, S.Pd, M.Sc, MA, mendesak Wassidik Polri untuk turun tangan dalam kasus ini dan memastikan tidak ada penyalahgunaan wewenang dalam penanganannya.
Berita yang menjadi dasar pelaporan ini bukanlah rekayasa, melainkan berdasarkan fakta lapangan terkait dugaan perselingkuhan, pelecehan seksual, atau bahkan pemerkosaan yang diduga dilakukan oleh Ferlianus Gulo terhadap seorang wanita bermarga Harefa berinisial DP. Wanita tersebut dikabarkan hamil dan melahirkan anak akibat dugaan tindakan Gulo, yang seharusnya diproses sebagai tersangka dalam kasus kejahatan pidana.
Namun, alih-alih pelaku dugaan kejahatan yang diproses hukum, jurnalis yang mengangkat kasus ini justru dilaporkan atas dugaan pencemaran nama baik. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah Polri benar-benar menegakkan hukum secara adil atau justru membiarkan kriminalisasi terhadap pers?
Kejanggalan dalam penanganan kasus ini terlihat dari fakta bahwa hanya Leo Amaron yang diproses hukum, padahal berita terkait dugaan kejahatan Ferlianus Gulo juga dimuat di berbagai media lain. Informasi yang beredar menyebutkan bahwa Ferlianus Gulo meminta uang damai sebesar Rp. 50 juta kepada Leo Amaron. Jika benar, maka tindakan ini dapat dikategorikan sebagai percobaan pemerasan, yang justru merupakan tindak pidana serius.
"Jika benar ada permintaan uang damai, maka pelaporlah yang semestinya diperiksa dan diproses hukum," tegas Wilson Lalengke. "Dalam kasus keberatan atas pemberitaan, mekanisme penyelesaian seharusnya mengikuti ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, khususnya hak jawab, hak koreksi, dan kewajiban koreksi."
Wilson Lalengke juga menyoroti fakta bahwa berita yang dimuat di Jurnalpolisi.id telah dihapus atas permintaan Ferlianus Gulo dalam mediasi yang dilakukan di depan penyidik Polda Riau. Namun, meskipun berita sudah tidak ada, pelapor tetap bersikeras mengejar proses hukum terhadap Leo Amaron.
"Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: siapa sebenarnya yang memiliki kepentingan dalam kasus ini? Apakah murni keinginan pelapor, atau ada oknum tertentu di kepolisian yang bermain dalam kasus ini?" tanya Wilson Lalengke.
Kasus ini mencerminkan bagaimana penyalahgunaan kewenangan dapat terjadi dalam sistem hukum kita. Jika penyidik di Polda Riau terbukti bertindak di luar kewenangan dengan tujuan tertentu, maka mereka harus diperiksa dan diproses sesuai hukum yang berlaku.
Wilson Lalengke mendesak Wassidik Polri untuk turun tangan dalam kasus ini dan memastikan bahwa tidak ada penyalahgunaan wewenang dalam penanganannya. "Jika ada indikasi keberpihakan atau motif tertentu dari aparat dalam mengusut kasus ini, maka oknum yang terlibat harus diberikan sanksi tegas," tegasnya.
Kasus ini bukan hanya tentang Leo Amaron, tetapi juga tentang kebebasan pers di Indonesia. Jika seorang jurnalis bisa diproses hukum hanya karena memberitakan fakta, maka ini menjadi ancaman serius bagi kebebasan pers dan hak masyarakat untuk mendapatkan informasi.
Institusi kepolisian harus membuktikan bahwa mereka bekerja secara profesional dan tidak terlibat dalam permainan hukum yang merugikan jurnalis. Jika Polri ingin menjaga kepercayaan publik, maka mereka harus membuktikan bahwa hukum benar-benar ditegakkan dengan adil, bukan berdasarkan kepentingan pihak tertentu.
Pewarta: ANDR
Redaksi : MitraTribrataNews.my.id
0 Komentar