Jakarta - Miswar, salah satu peserta seleksi calon Kepala Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA), resmi menggugat Penjabat (Pj) Gubernur Aceh Safrizal dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Gugatan ini didaftarkan dengan register perkara No. 62/G/2025/PTUN/JKT pada Kamis (27/2/2025).
Miswar melalui kuasa hukumnya, Erlizar Rusli, SH., MH., mengajukan gugatan ini atas dugaan pelanggaran prosedur dan intervensi politik dalam seleksi Kepala BPMA. "Klien kami menggunakan hak hukumnya sebagai warga negara untuk menguji legalitas seleksi yang dilakukan Pj Gubernur Aceh melalui Panitia Seleksi (Pansel) BPMA," ujar Erlizar. "Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat) yang menjunjung supremasi hukum, bukan negara kekuasaan (machtstaat) di mana keputusan didasarkan pada kehendak penguasa semata."
Erlizar menyorot beberapa poin penting dalam gugatan ini:
- Kewenangan Pj Gubernur: Erlizar berpendapat bahwa Pj Gubernur Aceh telah bertindak di luar kewenangannya dengan menggelar seleksi Kepala BPMA. Berdasarkan Pasal 1 angka 7 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2015, seleksi calon Kepala BPMA merupakan kewenangan Gubernur Aceh yang dipilih melalui proses demokratis. "Pj Gubernur hanya bersifat sementara dan tidak memiliki kewenangan penuh seperti gubernur definitif," jelasnya.
- Prosedur Penerbitan SK Menteri: Erlizar juga mempertanyakan prosedur penerbitan Surat Keputusan (SK) Menteri ESDM yang menetapkan Kepala BPMA. Ia menduga ada permainan politik di balik keputusan tersebut. "Kami menduga SK Menteri terkait Kepala BPMA ini keluar melalui lobi-lobi politik dengan 'invisible hand' yang dilakukan oleh kelompok tertentu, baik dari partai politik maupun organisasi tertentu," ungkapnya.
- Urgensi Seleksi: Erlizar mempertanyakan urgensi seleksi ini, mengingat Kepala BPMA saat ini, Teuku Muhammad Faisal, masih memiliki sisa masa jabatan satu tahun setelah diperpanjang oleh Menteri ESDM hingga 25 November 2025. "Kalau masa jabatannya masih berlaku, mengapa tiba-tiba dilakukan seleksi?" tanyanya. "Ini menimbulkan pertanyaan besar terkait kepentingan di balik keputusan tersebut, karena pada dasarnya tidak perlu dilakukan seleksi oleh Pj Gubernur karena tidak ada yang mendesak."
Erlizar menegaskan bahwa kasus ini bukan sekadar persoalan suka atau tidak suka terhadap individu tertentu, tetapi lebih kepada pengujian apakah pemerintah benar-benar menjalankan prinsip negara hukum atau justru terjebak dalam praktik negara kekuasaan. "Negara hukum menempatkan hukum sebagai panglima tertinggi dalam pengambilan keputusan, sementara negara kekuasaan lebih mengutamakan kehendak penguasa," jelasnya. "Jika tindakan pemerintah tidak berlandaskan hukum, maka hak-hak warga negara bisa terancam."
Erlizar juga menjelaskan empat perbedaan utama antara negara hukum dan negara kekuasaan:
Dasar Pengaturan: Dalam negara hukum, semua tindakan pemerintah harus berdasarkan hukum yang berlaku. Dalam negara kekuasaan, keputusan diambil berdasarkan kehendak penguasa tanpa batasan hukum yang jelas.
Perlindungan Hak Warga: Negara hukum menjamin hak asasi manusia dan kesetaraan di depan hukum. Negara kekuasaan cenderung mengabaikan hak individu dan lebih berpihak pada kepentingan elite tertentu.
Keterlibatan Rakyat: Negara hukum mendorong partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan. Negara kekuasaan membatasi peran rakyat dan cenderung memusatkan kekuasaan pada segelintir orang.
Akuntabilitas Pemerintah: Negara hukum mewajibkan pemerintah bertanggung jawab atas tindakannya dan tunduk pada hukum. Negara kekuasaan memungkinkan pemerintah bertindak tanpa konsekuensi hukum yang jelas.
"Berdasarkan prinsip negara hukum, kami akan menguji keabsahan seleksi dan keputusan Menteri ESDM di PTUN Jakarta," tegas Erlizar. "Kami membawa kasus ini ke jalur litigasi untuk memastikan bahwa hukum benar-benar ditegakkan dan tidak ada intervensi politik yang merusak proses seleksi Kepala BPMA."
Redaksi : MitraTribrataNews.my.id
Pewarta : Rehn
0 Komentar