DEMAK – Di tengah arus globalisasi dan modernisasi yang semakin kuat, masyarakat Jawa terus menjaga warisan budaya dan spiritual melalui tradisi Apitan Sedekah Bumi. Kegiatan tahunan yang dilangsungkan pada bulan Dzulqa’dah ini merupakan wujud rasa syukur atas hasil panen sekaligus sarana mempererat tali silaturahmi antarwarga, Senin 05 Mei 2025.
Apitan Sedekah Bumi tidak sekadar menjadi agenda seremonial, melainkan simbol akulturasi antara nilai-nilai Islam dan budaya lokal yang telah berlangsung sejak masa Wali Songo. Unsur-unsur animistik dalam tradisi ini telah diislamkan menjadi bentuk-bentuk dzikir, doa, dan tahlil, mencerminkan karakter Islam Nusantara yang damai dan inklusif.
“Acara biasanya dimulai dengan pengajian, lalu hasil bumi diarak dalam bentuk gunungan, dibagikan ke warga, kemudian dilanjutkan dengan kenduri serta hiburan rakyat seperti pasar malam,” ujar Sukarno, tokoh masyarakat Dusun Bringin, Magelang, pada Selasa (29/4).
Selain sebagai ungkapan rasa syukur, tradisi ini juga memperkuat nilai gotong royong dan kepedulian sosial di kalangan masyarakat.
Menurut akademisi UIN Walisongo, Nur Kholis, Islam Nusantara tumbuh dengan memeluk kearifan lokal, bukan menyingkirkannya. “Islam datang bukan untuk menghapus budaya, tetapi menanamkan nilai tauhid ke dalamnya. Inilah kekuatan Islam di Nusantara,” ujarnya.
Tradisi ini pun menjadi ruang edukatif bagi generasi muda. Melalui keterlibatan mereka dalam pelestarian tradisi, nilai-nilai spiritual, kebersamaan, dan kepedulian terhadap lingkungan terus diwariskan lintas generasi.
“Ini bukan soal melestarikan masa lalu, tapi bagaimana menjadikan nilai-nilai luhur itu tetap hidup dan relevan hari ini dan esok,” tambah Nur Kholis.
Dengan terus dirawat dan dilestarikan, Apitan Sedekah Bumi menjadi bukti bahwa warisan Islam Nusantara tetap mampu menyatu dengan zaman tanpa kehilangan jati dirinya.
Pewarta : Aliwan M.Pd
0 Komentar