Jember, Mitra Tribrata News –Pernyataan mengejutkan datang dari Bupati Jember, Gus Fawaid, yang mengaku "tidak tega" menertibkan Pedagang Kaki Lima (PKL) di kawasan Alun-Alun Jember. Ucapan yang terdengar sederhana ini, sebagaimana dilansir Kabar24.id pada 25 Mei 2025, justru memantik gelombang kritik dari warganet. Sebagian menyebutnya lemah, bahkan ada yang menyarankan agar ia mundur dari jabatannya.
Namun, benarkah "tak tega" adalah tanda kelemahan seorang pemimpin?
Jika ditelaah lebih jauh, ungkapan tersebut justru mencerminkan pendekatan kepemimpinan yang berbeda: memimpin dengan hati dan hukum. Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, negara berkewajiban menjamin kebutuhan dasar rakyat kecil—PKL termasuk di antaranya. Penataan kota memang penting, tetapi penggusuran bukan satu-satunya jalan keluar.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menegaskan bahwa masyarakat, termasuk PKL, berhak terlibat dalam perencanaan tata ruang. Demikian pula UU Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM yang mengamanatkan agar pemerintah daerah menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi pelaku usaha mikro.
Gus Fawaid, dalam konteks ini, bukan sedang membiarkan ketidaktertiban. Ia justru menolak pendekatan kekerasan dan memilih jalur dialog. Sebuah sikap yang mungkin jarang ditemukan di tengah iklim politik yang lebih mengutamakan ketegasan daripada empati.
"Menata kota tidak harus menggusur. Menegakkan ketertiban tidak harus menyisakan trauma," ungkap Gus Fawaid dalam pernyataannya.
Sebagai bagian dari solusi, Pemkab Jember kini tengah merancang kawasan food street di Jalan Kartini yang akan dijadikan pusat kuliner terintegrasi. Langkah ini diharapkan menjadi jawaban atas tantangan penataan kota tanpa mengorbankan nasib rakyat kecil.
Mungkin sebagian orang akan terus menganggap sikap "tak tega" sebagai kelemahan. Namun sejarah bisa jadi akan mencatatnya sebagai keberanian sunyi seorang pemimpin yang memilih berpihak kepada yang paling lemah.
Reporter : Slamet Raharjo
0 Komentar