Sorong – Praktik mediasi perkara perdata di Pengadilan Negeri (PN) Sorong menuai kritik tajam dari akademisi dan tokoh pers nasional, Wilson Lalengke, S.Pd, M.Sc, MA. Dalam opininya yang terbit Senin, 9 Juni 2025, ia menyoroti kejanggalan dalam proses mediasi antara PT. Bagus Jaya Abadi (BJA) dengan Hamonangan Sitorus yang dinilai bertentangan dengan prinsip transparansi dan keadilan.
Lalengke menyebut mediasi tersebut menyerupai praktik “membeli kucing dalam karung” lantaran pihak penggugat meminta kompensasi miliaran rupiah tanpa menunjukkan bukti atau dasar hukum yang jelas atas klaim tanah yang disengketakan.
“Logika hukumnya absurd: meminta lawan untuk membayar miliaran, tapi tidak mau menunjukkan akta hak milik. Ini melecehkan akal sehat dan menyalahi prinsip mediasi,” tulis Lalengke dalam opininya berjudul “Mediasi ala Bayar Kucing dalam Karung’ di PN Sorong.”
Kasus Tanah, Tapi Di Atas Laut?
Kasus yang mencuat berasal dari gugatan PT. BJA terhadap Hamonangan Sitorus terkait kepemilikan lahan. Dalam mediasi, pihak penggugat menawarkan solusi “bagi dua” lahan dan meminta kompensasi sebesar Rp 2,5 miliar, namun enggan menunjukkan bukti legalitas atau akta kepemilikan.
Lebih membingungkan lagi, lokasi tanah yang disengketakan disebut berada di atas kawasan laut.
“Bagaimana mungkin ada hak milik atas kawasan laut?” tulis Lalengke, menyebut klaim tersebut sebagai sesuatu yang tidak masuk akal secara hukum maupun geografi.
Peran Mediator Dipertanyakan
Lalengke juga menyoroti sikap hakim mediator, Rivai Rasyid Tukuboya, S.H., yang dinilai tidak mendorong keterbukaan informasi dalam proses mediasi. Mediasi justru diarahkan cepat-cepat ke tahap persidangan, tanpa pengujian awal terhadap validitas klaim.
“Jika keadilan tak bisa dicapai di meja mediasi, maka sia-sialah semua seruan moral dalam sistem hukum kita,” ujarnya.
Seruan kepada MA dan KY
Sebagai lulusan Etika Global dan Etika Terapan dari tiga universitas ternama Eropa—Universitas Utrecht (Belanda), University of Birmingham (Inggris), dan Linköping University (Swedia)—Wilson Lalengke menegaskan bahwa mediasi adalah forum moral, bukan sekadar prosedur administratif.
Dalam penutup opininya, ia menyerukan Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY) untuk melakukan audit etik dan mengevaluasi pelaksanaan mediasi di PN Sorong.
“Jangan biarkan ruang sidang kita jadi pasar gelap. Kita tidak sedang bermain sulap di peradilan,” pungkasnya.
Catatan Redaksi:
Hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan resmi dari pihak PN Sorong maupun hakim mediator yang disebut. Upaya konfirmasi masih terus dilakukan oleh redaksi.
Pewarta : Syarif Al Dhin
0 Komentar