Sorong – Proses mediasi yang berlangsung di Pengadilan Negeri (PN) Sorong dalam perkara sengketa lahan antara PT. Bagus Jaya Abadi (BJA) dan Hamonangan Sitorus menuai kritik tajam dari pengamat hukum dan etika, Wilson Lalengke. Ia menilai mediasi tersebut tidak dijalankan secara transparan dan berpotensi mencederai prinsip keadilan.
Dalam pernyataan tertulisnya, Wilson mengibaratkan proses mediasi itu seperti praktik “bayar kucing dalam karung”, di mana pihak tergugat diminta menerima proposal penyelesaian tanpa kejelasan dasar hukum atau bukti kepemilikan dari pihak penggugat.
“Penggugat, melalui kuasa hukumnya, datang dengan membawa tawaran pembagian lahan dan kompensasi Rp2,5 miliar, tetapi tidak menunjukkan dokumen legal atas lahan yang diklaim. Ini tentu menjadi pertanyaan besar: lahan mana yang dimaksud dan atas dasar apa diklaim?” ujar Wilson.
Menurut Wilson, ketika tergugat mempertanyakan lokasi dan legalitas lahan yang disengketakan, pihak penggugat enggan memberikan penjelasan dengan dalih hal tersebut merupakan materi pokok perkara yang baru bisa dibahas di persidangan. Anehnya, lanjut Wilson, sikap tersebut justru didukung oleh hakim mediator, Rivai Rasyid Tukuboya, S.H., yang memutuskan mediasi gagal dan membawa perkara ke tahap persidangan.
“Padahal mediasi seharusnya menjadi ruang terbuka bagi para pihak untuk menjelaskan posisi dan harapan masing-masing. Jika lokasi lahan yang disengketakan saja belum jelas, bagaimana mungkin bisa dilakukan kesepakatan yang adil?” tambahnya.
Wilson juga mengkritisi peran hakim mediasi yang dinilai tidak objektif dan tidak menggali secara mendalam pokok permasalahan. Ia menekankan bahwa keberhasilan mediasi sangat ditentukan oleh kemampuan mediator untuk mendorong keterbukaan dan pemahaman bersama antara para pihak.
“Seorang mediator seharusnya bijaksana dan mampu membedakan antara pihak yang beritikad baik dan yang tidak. Kegagalan mediasi akibat minimnya transparansi dan keberpihakan akan menjadi catatan buruk bagi kinerja lembaga peradilan,” tutup Wilson.
Kasus ini sebelumnya juga sempat menjadi perhatian publik karena dianggap sarat dengan kejanggalan dalam penyampaian dokumen dan ketidakjelasan objek sengketa. Pihak tergugat sendiri menyatakan tetap membuka ruang dialog, asalkan dasar klaim lahan disampaikan secara terbuka. Pungkasnya
Pewarta : ANDR
0 Komentar