Rompi Oranye: Simbol Baru "Kejayaan" di Panggung Korupsi Pemerintahan Daerah


Jember – Mitra Tribrata News - Fenomena korupsi di pemerintahan daerah kembali menjadi sorotan, tak hanya karena besarnya kerugian negara, tetapi juga karena kemunculan simbol-simbol ironis yang kini melekat pada praktik tersebut. Salah satu yang paling mencolok adalah rompi oranye, pakaian tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang kini menjelma menjadi semacam "kostum gladiator" dalam panggung hukum dan politik lokal, 09/06/25.

Rompi yang semula menjadi lambang hukuman dan aib kini berubah makna. Di mata publik yang jenuh, ia bukan lagi simbol kehinaan, melainkan identitas elite baru: mereka yang "naik panggung" karena berhasil bertahan dalam permainan kekuasaan, meski akhirnya terjerat hukum.

Senyum di Balik Rompi: Bahasa Tubuh yang Menghina Akal Sehat

Satu lagi ironi muncul saat para tersangka korupsi menebar senyum lebar di depan kamera, bahkan saat tangan mereka diborgol. Dalam kacamata semiotik, ekspresi ini tak bisa dilepaskan dari makna simbolis: sebuah bentuk perlawanan diam terhadap hukum, dan mungkin, sebuah pesan sarkastik yang ditujukan kepada rakyat.

"Kamu kira aku takut? Aku tahu aturan main ini, dan aku pemain terbaiknya."

Senyum itu bukan lagi isyarat penyesalan. Ia adalah gestur kemenangan dalam kekalahan, seolah memberi tahu publik bahwa permainan belum benar-benar usai.

Media Lokal: Antara Kritik dan Kamuflase

Peran media, terutama di daerah, tak kalah menarik untuk dicermati. Alih-alih menjadi corong kebenaran, sebagian media justru terjebak dalam narasi yang melembutkan fakta. Kalimat seperti “diduga terlibat dalam dugaan tindak pidana korupsi” menjadi contoh bagaimana bahasa digunakan untuk meredam reaksi publik.

Penggunaan eufemisme ini bukan tanpa tujuan. Di balik gaya bahasa yang hati-hati, sering tersembunyi kepentingan politik, relasi ekonomi, atau bahkan tekanan dari pihak tertentu. Akibatnya, jurnalisme kehilangan tajinya, dan masyarakat kehilangan arah dalam membedakan fakta dari drama.

Korupsi sebagai Budaya: Ketika Mitos Mengalahkan Hukum

Budaya korupsi di pemerintahan daerah bukan lagi sekadar pelanggaran hukum, tetapi telah menjadi mitos yang dilegitimasi oleh wacana publik. Dalam istilah Roland Barthes, ini adalah proses naturalization — di mana tindakan amoral dijustifikasi sebagai bagian dari “budaya lokal” yang dianggap tak mungkin diberantas.

Ketika korupsi dianggap lumrah dan diterima sebagai risiko jabatan, maka upaya pemberantasan tak ubahnya pertunjukan yang terus diulang tanpa akhir.

Masyarakat: Penonton Sekaligus Penghibur

Di tengah absurditas ini, masyarakat berperan ganda: sebagai penonton yang setia mengikuti drama korupsi, sekaligus pelawak sarkastik yang melontarkan kritik lewat meme dan sindiran di media sosial. Namun di balik tawa itu, sering kali tersembunyi keputusasaan dan rasa tak berdaya.

Kritik berubah menjadi hiburan. Amarah melebur dalam canda. Dan tanpa disadari, panggung korupsi terus dipertahankan oleh tepuk tangan yang tak pernah berhenti.

Akhir Kata

Rompi oranye hari ini bukan sekadar simbol hukum, tapi cermin dari realitas sosial-politik kita. Ia mencerminkan kebiasaan menormalisasi kejahatan, menertawakan keadilan, dan diam ketika nurani dipermainkan.


Selama publik masih memandang korupsi sebagai tontonan — bukan ancaman — maka para “gladiator” baru akan terus bermunculan, dengan senyum licik dan sorotan kamera sebagai pengiring kemunculannya. Pungkasnya


Pewarta : Slamet Rahardjo 

0 Komentar

Posting Komentar