Rakyat Papua Bangkit: Aktivis Desak Gubernur Papua Tengah Berpihak pada Aspirasi, Bukan Kepentingan Elit Jakarta


Paniai, Papua - 17 Juli 2025 — Gelombang perlawanan rakyat Papua kembali bergemuruh. Aksi besar-besaran yang digelar di Nabire menegaskan penolakan terhadap proyek tambang emas Blok Wabu di Intan Jaya, Papua Tengah, yang disebut-sebut sebagai proyek perampasan tanah dan bencana ekologi yang dibungkus dalam narasi pembangunan nasional. Para aktivis menyoroti sikap Gubernur Papua Tengah, Meky Nawipa, yang dinilai lebih melayani kepentingan elit Jakarta ketimbang membela suara rakyat pemilik tanah adat.


“Sudah terlalu lama kami menjadi korban. Negara membangun tambang, tapi menghancurkan hidup kami. Gubernur Papua Tengah harus berpihak kepada rakyat, bukan menjadi kaki tangan Jakarta,” tegas Yulvin Mote, aktivis HAM dan Ketua Partai Bintang Timur Papua, dalam orasinya saat memimpin aksi solidaritas rakyat di Paniai.


Menurut Mote, proyek Blok Wabu yang dikelola oleh PT ANTAM dan induknya, MIND ID, merupakan simbol kolonialisme modern yang hanya membawa penderitaan bagi masyarakat Papua. Proyek ini berdiri di atas tanah adat seluas 69.118 hektare dengan cadangan emas lebih dari 8 juta ounce, namun dijalankan tanpa persetujuan bebas dan sadar (FPIC) dari masyarakat adat Intan Jaya.


Tambang Emas, Darah, dan Air Mata


Tokoh Papua lainnya, Victor Yeimo, menambahkan bahwa proyek tambang Blok Wabu telah memicu tragedi kemanusiaan di Intan Jaya sejak diumumkan sebagai Proyek Strategis Nasional melalui Perpres No. 109 Tahun 2020.


 “Blok Wabu bukan sekadar proyek tambang. Ia adalah ladang kekerasan dan pemusnahan budaya Papua. Ribuan orang diusir, anak-anak putus sekolah, dan kampung adat dibakar. Semua ini dikawal oleh aparat bersenjata. Ini adalah genosida berkedok investasi,” ujar Yeimo dalam pernyataannya.


Data dari Amnesty International (2022) mencatat lebih dari 60 warga sipil tewas akibat konflik bersenjata di sekitar wilayah tambang. Human Rights Monitor (2025) melaporkan bahwa 7.000 hingga 10.000 warga dari distrik Sugapa, Hitadipa, dan Agisiga telah terusir akibat serangan bersenjata dan pemboman dari aparat keamanan.


Akibat konflik ini, Papua Tengah bahkan sempat menetapkan status tanggap darurat pada Mei 2025. Namun ironi terjadi: alih-alih bantuan, yang datang justru tambahan pasukan.


“Pembangunan” atau Penghancuran?


Aktivis dan organisasi masyarakat sipil menyatakan bahwa pembangunan tambang di Papua tidak pernah berpihak pada rakyat. Sebaliknya, mereka melihat pola lama kolonialisme yang dilanggengkan dalam bentuk pemekaran wilayah (DOB), penguasaan lahan, dan kriminalisasi masyarakat adat yang mempertahankan tanahnya.


“Freeport di Timika sudah cukup jadi pelajaran. Sungai Ajkwa dikubur limbah, hutan rusak, rakyat menderita. Kini Blok Wabu akan mengulang bencana yang sama. Setiap gram emas diambil dari tanah kami, dibayar dengan darah dan air mata rakyat Papua,” tegas Mote.


Tuntutan Tegas Rakyat Papua

Dalam aksi damai tersebut, aktivis dan massa rakyat menyampaikan sejumlah tuntutan kepada pemerintah pusat dan daerah:

1. Hentikan total dan permanen proyek tambang Blok Wabu di Intan Jaya.


2. Tarik semua aparat militer dan kepolisian dari wilayah konsesi tambang.


3. Cabut izin usaha PT ANTAM dan MIND ID, serta bubarkan seluruh proyek tambang tanpa persetujuan masyarakat adat.


4. Buka ruang dialog internasional atau referendum ulang sebagai jalan demokratis menyelesaikan persoalan Papua.


5. Hentikan pemekaran DOB yang tidak menjawab akar persoalan, dan hanya membuka jalan bagi eksploitasi sumber daya alam.


Bukan Tambang, Tapi Hak Menentukan Nasib Sendiri


Lebih dari sekadar penolakan tambang, aksi ini mencerminkan krisis kepercayaan rakyat Papua terhadap negara. Selama lebih dari enam dekade, pembangunan di Papua dinilai hanya meminggirkan masyarakat adat dan memperkaya elite kekuasaan.


 “Kami tak butuh DOB, tak butuh tambang. Kami butuh pengakuan atas hak kami sebagai bangsa. Kami berhak menentukan masa depan kami sendiri,” pungkas Yulvin Mote.


Para aktivis menyerukan agar gereja, sekolah, kampung, dan komunitas adat menjadi pusat pendidikan politik rakyat untuk melawan narasi palsu bahwa tambang membawa kesejahteraan.


Aksi ini menjadi peringatan keras bagi negara bahwa rakyat Papua tidak akan diam. Mereka terus bersatu, bergerak, dan menuntut keadilan—bukan dengan peluru, tapi dengan kebenaran dan keteguhan hati.



Redaksi: Tribrata News Papua

Editor: Tim Investigasi Wilayah Timur

Kontributor Lapangan: Yulvin Mote & Jaringan Aktivis Papua

0 Komentar

Posting Komentar